PENERAPAN ASAS “SESUAI AKAD” DAN ASAS “PERSONALITAS KEISLAMAN” DALAM SENGKETA EKONOMI SYARIAH

 

PENERAPAN ASAS “SESUAI AKAD”  DAN  ASAS “PERSONALITAS KEISLAMAN”

DALAM SENGKETA EKONOMI SYARIAH

 

OLEH : IMRON ROSYADI

 

Dalam setiap lalu lintas hubungan hukum di masyarakat, selalu terbuka ruang kemungkinan lahir sengketa (dispute), tidak terkecuali di bidang ekonomi syariah. Sengketa ekonomi syariah terjadi antara pihak-pihak baik perorangan  maupun badan hukum yang melakukan akad dengan prinsip syariah yang salah satu pihak melakukan wanprestasi atau melakukan perbuatan melawan hukum sehingga mengakibatkan pihak yang lainnya merasa dirugikan.[1]

Salah satu asas untuk menentukan kewenangan menangani perkara ekonomi syariah oleh pengadilan agama adalah  asas “sesuai akad”.  Artinya   apabila perjanjian yang dibuat pihak-pihak didasarkan pada akad syariah, maka  apabila timbul sengketa  menjadi kewenangan  pengadilan agama, tanpa mempersoalkan apakah subjek hukum tersebut  beragama Islam atau bukan.   Masyarakat non muslim yang tertarik dengan akad syariah kemudian  melakukan akad  yang didadasarkan dengan prinsip syariah, dianggap secara sadar menundukkan diri dengan prinsip syariah. Dalam kasus yang demikian, maka penyelesaian dilakukan di pengadilan agama.

Bagaimana dengan sengketa ekonomi syariah yang akad antara  pihak-pihak tidak dilakukan secara tertulis.  Apabila diakui pihak-pihak bahwa akad yang dibuat berdasarkan prinsip syariah, maka pengakuan tersebut menjadi dasar atas kewenangan pengadilan agama menyelesaikan perkara. Berbeda apabila pengakuan tersebut dibantah, tentu akan  timbul persoalan.  Melalui lembaga apa tergugat menyampaikan keberatan, sedangkan dalam  gugatan sederhana tidak dapat diajukan eksepsi.[2] Dengan tidak diterapkannya lembaga eksepsi dalam pemeriksaan gugatan sederhana, segala bentuk keberatan bisa saja masuk dalam jawaban tergugat, yang selanjutnya terserah pengadilan untuk menilai.

Sedangkan jika tidak  disertai  bukti  tertulis dan pihak lawan membantah, maka  tidak bisa serta merta dinyatakan akad tersebut didasarkan atas prinsip syariah. Untuk mengidentifikasi apakah bahwa akad  itu didasarkan pada prinsip syariah atau bukan, sebenarnya tidak terlalu sulit,   karena karakteristik prinsip syariah itu telah jelas.[3]  Terlebih lagi dalam akad-akad tertentu kita telah dipandu oleh fatwa Dewan Syariah (DSN) MUI. Sejak dibentuk sampai saat ini lembaga DSN-MUI telah melahirkan lebih seratus fatwa yang bekaitan dengan prinsip syariah.[4]  Di samping itu, fatwa-fatwa yang dihasilkan  menjadi pedoman masyarakat agar suatu  transaksi sesuai dengan prinsip syariah, fatwa yang dihasilkan DSN-MUI juga substasinya dijadikan kebijakan lembaga terkait.   Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menempatkan fatwa DSN sebagai suatu yang urgen untuk menjamin sistem yang diterapkan benar-benar sesuai syariah, dengan menindak lanjuti fatwa dalam bentuk peraturan.[5]  Gubernur Bank Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Bank Indoensia Nomor 10/32/PBI/2008 Tentang Komite Perbankan  Syariah, antara lain dijelaskan tentang tugas Komite adalah membantu Bank Indonesia dalam;  (a)  menafsirkan fatwa MUI yang terkait dengan perbankan syariah; (b) memberikan masukan dalam rangka implementasi fatwa ke dalam Peraturan Bank Indonesia; (c). melakukan pengembangan industri perbankan syariah.[6]

Penggunaan asas “personalitas keislaman” juga dapat dipertimbangkan ketika dihadapkan pada sengketa yang akadnya tidak dilakukan secara tertuis dan dibantah oleh pihak lawan.  Asas personalitas keislaman merupakan asas penentuan kewenangan mengadili berdasarkan  kenyataan  pihak-pihak adalah orang-orang yang beragama Islam.[7]  Terlebih  lagi dalam gugatan sederhana dikonstruksikan sebagai perkara yang disamping nilai nominalnya kecil (maksimal  duaratus juta rupiah), juga dmungkinkan  justiciabelen dari kalangan bawah dan awam.  Akad yang dibuat yang menandai adanya hubungan hukum di antara mereka kemungkinan  tidak  sebaik yang dilakukan oleh badan hukum atau pelaku usaha profesional. Pengadilan dalam menghadapi kasus-kasus yang demikian sebaiknya juga lentur.

Penerapan asas personalitas keislaman dapat membantu mengurai penyelesaian sengketa di antara meraka. Memang, ini merupakan “ranah abu-abu” sangat mungkin untuk dibeda pendapatkan. Bagi yang berpandangan pragmatis  akan lebih cenderung menyatakan pengadian agama  tidak dapat menerima perkara  tersebut.  Namun bagi yang berpandangan bahwa kerangka hukum gugatan sederhana sengaja dimaksudkan untuk kalangan menengah ke bawah, akan mentolerir “kesederhanaan” pihak-pihak dalam melakukan perbuatan hukum.[8]  

Sedangkan operasional prinsip syariah   secara tegas  tidak  setiap orang bisa mengklaim, malainkan  diberikan kepada lembaga memang memiliki  kapasitas dan otritas untuk itu.   Ketentuan Umum angka (2)  Perma tersebut menjelaskan bahwa prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam ekonomi syariah  berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan  dalam   menetapkan fatwa di bidang syariah.  Penjelasan tersebut sama dengan ketentuan yang diberikan oleh   Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.[9]  Jadi untuk menentukan bahwa suatu  transaksi  memenuhi prinsip syariah, harus didasarkan oleh lembaga yang memiliki otoritas memberikan fatwa di bidang syariah.[10]     

 



[1]Amran Suadi,  Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Teori dan Praktik, (Jakarta :  Kencana, 2017),  hlm. 7

[2]Pasal  17 Perma Nomor 2 tahun 2015 ; “ dalam  proses pemeriksaan gugatan sederhana tidak dapat diajukan tuntutan provisi, eksepsi, rekonvesi, intervensi, replik,  duplik atau kesimpulan”.

[3]Secara umum, prinsip syariah harus terbebas dari hal-hal yang mengandung spekulasi (maisir), tipuan (gharar) dan bunga (riba). Dalam berbagai fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI selalu menempatkan syarat bahwa akad yang dilakukan harus terbebas dari  maghrib ( maisir, gharar dan riba). Seperti fatwa DSN Nomor  52/DSN-MUI/III/2006 tentang  Akad Wakalah Bil Ujrah pada Asuransi dan Reasuransi Syariah. 

[4]DSN-MUI telah  menghasikan  banyak fatwa,   pada saat tulisan ini dibuat,  fatwa yang dikeluarkan  sebanyak 122 fatwa. Terahir  fatwa   No. 122/DSN-MUI/II/2018 tentang Pengelolaan Dana BPIH dan BPIH Khusus Berdasarkan Prinsip Syariah.

[5]Sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berdasarkan UU Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuanagan, sebagian fungsi, tugas dan wewenang  dilaksanakan oleh Bank Indonesia (BI).

[6] Pasal 5 Peraturan Bank Indonesia Nomor10/32/PBI/2008 Tentang Komite Perbankan Syariah

[7]Hubungan asas personalitas keislaman dengan kewenangan pengadilan agama  tercantum dalam pasal 49 UU Nomor 7 tahun  1989 jo  pasal 49 UU Nomor 3 tahun 2016 yang menyatakan ; “ Pengadilan agama berwenang  memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara  di tingkat pertama antara orang-orang  bergama Islam di bidang…… dst”.

[8] Ridwan Mansyur dan D.Y. Witanto,  Op Cit., hlm. 1-2.

[9] Pasal 1 angka 12 UU Nomor 21 tahun 2002 “Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah”.

[10]Berdasarkan Surat Keputusan Majelis Ulama (MUI) Pusat  Nomor Kep/MUI/II1999 tanggal 10 Pebruari 1999 secara resmi DSN-MUI  terbentuk, dengan tugas dan fungsi;  (a) mengeluarkan fatwa tentang ekonomi syariah untuk dijadikan pedoman bagi praktisi dan regulator; (b) menerbitkan rekomendasi, sertifikasi dan syariah approval bagi lembaga  keuangan dan bisnis syariah; (c) melakukan pengawasan aspek syariah  atas produk/ jasa di lembaga keuangan/bisnis syariah  melalui DSN.

0 Comments

Featured Widgets

LEGALITAS FATWA DSN-MUI SEBAGAI DASAR PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH

LEGALITAS FATWA DSN-MUI SEBAGAI  DASAR  PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH   H. IMRON ROSYADI   Pendahuluan Operasioanal produk perbankan syariah tidak dapat dipisahkan dengan  fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), karena dibentuknya lembaga tersebut salah satu tugas dan wewenangnya adalah  mengeluarkan fatwa yang berhubungan dengan jenis-jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan syariah, termasuk juga bank-bank syariah.   Sampai saat ini DSN telah banyak melahirkan produk fatwa dalam rangka mengawal prinsip syariah.  Dari sudut  ekselerasi produk yang dihasilkan, DSN MUI terhitung sangat produktif karena sejak didirikan sampai saat ini telah mengeluarkan fatwa lebih dari seratus fatwa.   Di sisi lain, sebagian ahli hukum ada yang mempertanyakan kedudukan fatwa sebagai sebagai sumber hukum dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah. Pertanyaan tersebut dapat dimengerti  karena fatwa tidak ...