ASAS-ASAS HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA

   

ASAS- ASAS  HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA

Oleh : H. IMRON ROSYADI

 Pendahuluan

Hukum keluarga atau hukum kekeluargaan, secara sederhana dapat didefinisikan dengan hukum yang mengatur hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan.  Dalam beberapa literatur  fikih, hukum keluarga mendapatkan bagian pembahasan tersendiri, dengan penyebutan pokok bahasan dengan istilah yang berbeda-beda, antara lain; al-akhwal al-syahsiyah,  nidham al-usrah, huquq al-usrah, al-ahkam al-usrah.  Meskipun istilah yang digunakan berbeda, substansi pembahasan hampir sama yang pada garis besarnya membahas tentang aspek-aspek kehidupan manusia yakni kelahiran, perkawinan dan kematian.  Sebagai contoh, ketika seseorang melakukan perkawinan, maka menimbulkan hukum tentang nafkah, harta syarikat, talak, rujuk dan lain-lain.  Ketika ada proses kelahiran seorang anak, maka menimbulkan hukum hadhanah, perwalian, nafkah keluarga, dan lain-lain. Ketika ada kematian seseorang, maka menimbulkan hukum kewarisan, wasiat dan lain-lain.

Kodifikasi hukum keluarga ke dalam undang-undang (qanun) hampir terjadi di semua negara-negara Islam termasuk di Indonesia.  Lahirnya UU Nomor 1 tahun tentang Perkawinan yang pelaksanaanya  berlaku efektif  yang diatur denga  Peraturan Pemerintah.  Kelahiran Kompilasi Hukum Islam (KHI), dengan payung hukum Inpres Nomor 1 tahun 1989, dianggap sebagai kemajuan besar dalam sejarah kodifikasi dan unifikasi hukum keluarga. Apabila UU Nomor 1 tahun 1974 hanya mengatur tentang hukum perkawinan dan hubungan hukum antara anak dan orang tua, KHI dianggap lebih tepat se bagai representasi  peraturan  hukum keluarga Islam di Indonesia.  Penyusunan  KHI  di samping  bersumber  dari  kitab-kitab fikih, materi  pembahasan  mencakup hukum perkawinan, hukum  waris dan hukum wasiat.

 

Asas-Asas Hukum Perkawinan di Indonesia

Dalam rangka mewujudkan tujuan perkawinan yaitu mewujudkan tujuan perkawinan yaitu rumah tangga yang bahagian dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ( UU 1/1974), rumah tangga yang sakinah, mawadda dan rahmah ( KHI Inpres 1/1991 ), hukum perkawinan menganut bebera asas, yaitu :

a. Asas Kemauan Kedua Belah Pihak

Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua mempelai ( Pasal 6 ayat 1 UU 1/74) dan tidak  lagi mengakui praktik kawin paksa melalui lembaga wali mujbir.  Wali mujbir  adalah wali yang mempunyai wewenang langsung untuk menikahkan anak   perempuan yang berada  di bawah perwaliannya meskipun tanpa izinnya. Konsep wali mujbir muncul  karena tidak adanya batas minimal usia perkawinan bagi  perempuan, sehingga tidak ada larangan bagi wali menikahkan anak perempuannya di bawah umur atau saat masih kecil sekalipun. Karena anak di bawah umur belum bisa dimintai persetujaunnya, oleh karena itu wali aqrab (ayah dan kakek)  diberikan hak ijbar. Menurut ulama Hanafiyah  apabila yang akan dikawinkan itu adalah perempuan yang masih kecil, seluruh wali tidak hanya ayah dan kakek memiliki hak ijbār. Meskipun dalam tradisi pemahaman fikih sebagian masyarakat muslim mengakui adanya wali mujbir, UU 1/74  melihatnya tidak tepat diterapkan di Indonesia mengingat  konteks sosio-kultur.   Dalam praktiknya, penerapan wali mujbir banyak menimbulkan mafsadat daripada maslahatnya.

b. Asas Sesuai Hukum Agama  

Undang-undang Perkawinan menghormati dan menempatkan kedudukan agama pada kedudukan yang amat mulia.  Hal itu terbukti bahwa keabsahan suatu perkawinan manakala telah dilakukan  menurut hukum agama dan  keyakinan agama yang dipeluk. Dengan kata lain, tidak ada perkawinan yang sah di mata hukum manakala oleh agama yang bersangkutan dinyatakan tidak sah.  Pasal 2 ayat (1) UU 1/74  menyatakan bahwa “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut  hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.  

Sejak diberlakukan UU Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan campuran mengalami pergeseran makna menuju makna yang lebih sempit.  Pengertian perkawinan campuran  hanya mengacu pada perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan, yang salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia  (pasal 57 UU 1/74).  Tidak ditampungnya perkawinan antar agama dalam perkawinan campuran merupakan aspirasi hukum yang hidup di masyarakat. Masyarakat Indonesa tidak menghendaki adanya pertentangan akidah dalam lembaga perkawinan, sebab jika itu terjadi dapat dipastikan kebahagiaan hakiki yang dikehendaki dalam lembaga perkawinan tidak dapat diwujudkan.

c. Asas Partisipasi Keluarga

Partisipasi keluarga  tercermin pada kewajiban mendapat izin dari  kedua orang tua  calon mempelai pabila  belum mencapai usia 21 tahun ( pasal 6 ayat 2 UU 1/74).  Dari kajian sosiologis, seorang anak sebelum memasuki dunia rumah tangga adalah dalam tanggung jawab orang tuanya, terutama bagi anak perempuan.  Kedua orang tuanyalah yang lebih banyak tahu baik tentang tabiat, kekurangan, dan kelebihan anaknya. Dunia rumah tangga adalah dunia baru dan seringkali tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan, terlebih lagi apabila  keduanya belum cukup dewasa dari segi psikologis, meski secara biologis dianggap cukup dewasa.  

d. Asas Pencatatan

Perkawinan harus dicatatkan  menurut  peraturan perundang-undangan yang berlaku ( pasal 2 ayat (2) UU 1/74). Selain berfungsi sebagai tertib administrasi yang  menjadi tuntutan kehidupan modern dewasa ini,  pencatatan peristiwa perkawinan juga memiliki nilai politis, yakni perlindungan hukum oleh negara ckepada setiap warga negara. Terlepas dari cara pemahaman yang berbeda tentang hubungan hukum antara ayat (1) dan (2) pasal 2 UU 1/74, untuk tertib administrasi,  perkawinan harus dilakukan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah yang sekaligus berkewajiban melakukan pencatatan perkawinan, sehingga perkawinan yang tidak dilakukan di hadapannya otomatis termasuk perkawinan yang oleh KHI dinyatakan sebagai tidak mempunyai kekuatan hukum.  

e. Asas Poligami Dibatasi

Pada  dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami (pasal 3 UU 1/74). Apabila dikehendaki  pengadilan  dapat mengizinkan seorang suami beristri lebih dari seorang. Namun demikian, perkawinan dengan lebih dari seorang istri dapat dilakukan setelah terpenuhinya beberapa syarat.  Pelaksanaan poligami tanpa pengaturan yang ketat akan melahirkan akibat-akibat yang serius dalam rumah tangga. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan mengatur tentang  beberapa syarat baik yang bersifat  alternatif maupun kumulatif. 

Di negara-negara Islam juga terjadi kecenderungan yang sama, yakni adanya pengaturan oleh undang-undang terhadap poligami, dari yang lunak sampai pada pembatasan secara ketat. Di Libanon, berdasarkan hukum keluarga yang diberlakukan Kerajaan Turki Usmani tahun 1917, poligami tidak dilarang, akan tetapi diharapkan menerapkan prinsip-prinsip keadilan kepada para istri.  Di Maroko, berdasarkan Undang-undang Status Pribadi tahun 1958 terdapat pasal yang mengatur hak istri  untuk meminta suami  membuat perjanjian jika nanti ternyata suami menikah lagi dengan wanita lain, maka perkawinan yang pertama dengan sendirinya bubar.  

f. Asas Mempersulit  Perceraian  

Perceraian harus didasari  alasan-alasan yang telah diatur secara limitatif oleh peraturan perundang-undangan (pasal  19 PP 9/75 jo pasal 116 KHI).  Agar  tidak terjadi kesewenang-wenangan, perceraian harus dilakukan di depan pengailan, setelah pengadilan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.  Perceraian tidak lagi dipahami semata-mata menjadi masalah individu, namun sudah menjadi bagian dari masalah sosial.

g. Asas Melindungi Perempuan

Persamaan hak dan kedudukan  dalam kehidupan rumah tangga antara suami-istri (pasal 31 UU 1/74).  Karena hak dan kedudukannya sama, maka istri harus dipandang sebagai subjek hukum yang berhak melakukan perbuatan hukum seperti halnya suami. Perlindungan juga diberikan terhadap perempuan yang karena alasan tertentu perkawinan pecah dan berakhir dengan perceraian, melalui hak terhadap harta bersama dan perlindungan terhadap harta pribadi untuk tidak dikuasai pihak lain, termasuk mantan suaminya.  Pelembagaan harta bersama merupakan langkah maju memngingat  hal tersebut  belum banyak dikenal dalam pembahasan  kitab  fikih  sebelumnya. 

 

Perkembangan Hukum Keluarga di Indonesia

Perkembangan hukum keluarga di Indonesia, ada beberapa hal yang menarik untuk  dicermati.  Sejak  awal  diberlakukan sampai saat ini, norma hukum keluarga kita,  baik yang termuat dalam UU No. 1/1974, PP No. 9/1975, maupun KHI (Inpres 1/1991), terus mengalami  “uji shahih”  oleh nilai-nilai hukum yang  berkembang di masyarakat.  Akibatnya ada beberapa norma peraturan perundang-undangan yang mendapat  sorotan tajam dari masyarakat  yang dianggap  tidak selaras lagi  dan memerlukan “penyegaran”  untuk menyesuaikan perkembangan yang terjadi, dan bahkan sebagian telah diajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Beberapa perkembangan tersebut, sebagian akan dikupas dalam makalah ini.

 

a. Counter Legal Draf (CLD) atas KHI

Pemberlakukan KHI  dalam waktu yang tidak terlalu lama, muncul kritik terhadap beberapa materi pasal KHI yang lebih dikenal dengan Counter Legal Draft (CLD) atas KHI (inpres 1/1991).  CLD merupakan  konsep tandingan bagi pembaruan hukum keluarga yang meliputi hukum perkawinan, kewarisan, dan hukum perwakafan.  Dalam hukum perkawinan, CLD menawarkan beberapa konsep pembaruan beberapa pasal dalam KHI, karena pasal-pasal tersebut dianggap tidak mencerminkan pandangan keislaman yang humanis dan demokratis. Tawaran pembaruan di antaranya meliputi tentang definisi perkawinan, wali bagi perempuan, saksi dalam perkawinan, batas usia perkawinan, mahar, nusyūz, hak dan kewajiban suami-istri, serta poligami.

Tentang definisi perkawinan, CLD mencoba  menggeser makna perkawinan sebagai ibadah kepada makna yang lebih dekat dengan hubungan antarmanusia (mu'āmalah).  Karena lebih dekat dengan mu'āmalah, pada setiap akad penekanannya adalah kerelaan dan kesepakatan kedua belah pihak. Alasan yang dijadikan dasar oleh penyusun CLD adalah bahwa di masyarakat pengertian nikah adalah ibadah tetapi mengalami distorsi makna, sehingga wanita yang tidak kawin dianggap berdosa. Akibatnya, tidak sedikit wanita yang “terpaksa” kawin agar tidak mendapat stigma dosa, dan dengan terpaksa menerima perjodohan oleh orang tuanya.

CLD juga mengkoreksi pasal tentang nusyūz yang hanya ditujukan kepada perempuan, tetapi tidak kepada laki-laki. Nusyūz yang berarti pembangkangan atau tidak taat pada perintah, dipahami oleh masyarakat umumnya sebagai pembangkangan istri terhadap suami. Distorsi pemahaman yang demikian harus diluruskan, sebab jika nusyūz dipahami sebagai ketidaktaatan, maka suami pun dapat melakukan ketidaktaatan. Konsep Al-Qur’an tentang nusyūz tidak hanya berlaku bagi istri tetapi bisa juga berlaku pada suami. Untuk itu, draft usulan tentang nusyūz melibatkan nusyūz suami dan istri. Meskipun CLD baru pada tahapan konsep, belum diterima menjadi hukum positif, apalagi diterapkan hakim dalam mengadili perkara yang diajukan kepadanya sehingga berpotensi menjadi yurisprudensi, setidak-tidaknya hal itu menggambarkan adanya pergerakan yang cukup dinamis dalam hukum keluarga di Indonesia.  Gerakan-gerakan itu berjalan sejalan dengan tuntutan perlindungan hak-hak perempuan menuju hukum yang lebih egaliter dan demokratis.

 

b.Uji Materi Pasal 43 UU Nomor 1/ 1974

Persoalan  anak sebenarnya sudah diatur secara jelas  dalam UU Nomor 1/74. Pasal  42 menyatakan bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan  dalam atau  sebagai akibat perkawinan yang sah (ketentuan tersebut kemudian  ditegaskan kembali dalam pasal 99 KHI dengan redaksi yang sedikit berbeda namun maksudnya sama). Selanjutnya Pasal 43 menjelaskan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata  dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Substansi pasal 43 tersebut secara normatif seiring dengan ketentuan hukum Islam bahwa anak di luar nikah tidak memiliki nasab dengan bapak biologisnya, dan hanya bernasab dengan ibu dan keluarga ibu. Pasal tersebut kemudian diajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK), kemudian keluar putusan Nomor   46/PUU-VIII/ 2010, diputus tanggal 13 Pebruari 2012. Di antara bunyi amar putusan tersebut ;  ...........harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyaihubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”;

Memahami putusan MK tersebut, paling tidak  ada beberapa implikasi. Pertama, maksud anak yang dilahirkan di luar perkawinan untuk kasus nika  nikah sirri atau kumpul kebo. Nikah sirri dan kumpul kebo adalah dua termonologi yang harus dipahami secara berbeda, meskipun di mata hukum, keduanya dilakukan tidak sesuai dengan UU No 1/74 berikut PP No 9/75. Nikah sirri adalah sebuah terminologi untuk menggambarkan pernikahan yang telah memenuhi syarat dan rukun menurut fikih, hanya saja pernikahan itu tidak dilakukan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) untuk dicatatkan sesuai peraturan yang berlaku (pasal 2 UU No 1/74). Sedangkan kumpul kebo adalah dua orang laki dan perempuan yang hidup layaknya suami istri, tanpa diikat oleh perkawinan menurut agama, maupun negara.

Jika putusan tersebut ditujukan untuk anak hasil perkawinan sirri, putusan MK memperkuat konstruksi hukum yang telah ada, sejauh menyangkut hubungan antara ayat 1 dan ayat dalam pasal 2 UUP.  Sejauh ini, terjadi perbedaan pemahaman yang tidak kunjung selesai dalam memahami pasal 2 UUP khususnya hubungan ayat 1 dan ayat 2. Para pakar terpola menjadi dua kelompok. Pertama, yang memahami ayat 1 pasal 2 secara mandiri tanpa ada kaitan satu sama lain. Pemahaman ini membawa konsekuensi hukum, bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut masing-masing agama. Kedua, mereka yang memahami ayat 1 dan ayat 2 menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Konsekuensinya, keabsahan suatu pernikahan tidak cukup hanya dilakukan berdasarkan agama, tetapi harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika dipahami demikian, putusan MK berimplikasi pada pola pertama yakni menetapkan sahnya perkawinan pada hukum agama, sehingga anak hasil perkawinan sirri (seperti halnya kasus pemohon uji materi), harus dinyatakan memiliki hubungan perdata dengan ayahnya.

Kedua, putusan tersebut dapat pula berimplikasi pada perubahan pengertian  “hubungan perdata”. Selama ini Istilah “hubungan perdata” dipahami  berdasarkan  kandungan  pasal 280 KUH Perdata dapat dipahami bahwa hubngan  anak luar kawin dengan bapak biologisnya tidak hanya terbatas pada  hubungan memberi pengayoman, nafkah, pendidikan, jaminan kesehatan, serta biaya hiup lainnya, namun juga timbulnya hubungan saling mewaris, serta hak menambahkan nama bapak biologis di belakang namanya. Apabila pengertian ini yang digunakan dalam memahmi hubungan  perdata dalam putusan MK tersebut, maka putusan tersebut memposisikan anak luar kawin sama dengan anak sah.

Beragamnya tanggapan atas outusan MK tersebut, membuat MUI mengeluarkan fatwa Nomor 11 tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya.  Beberapa hal penting dalam fatwa tersebut, di antaranya  dalam ketemtuan umum dijelaskan bahwa yang dimaksud anak hasil zina  anak yang lahir sebagai akibat badan di luar pernikahan yang sah menurut ketentun agama dan merupakan jarimah. Selanjutnya, fatwa tersebut menggariskan keputusan hukum sebagai berikut :

1. Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah waris dan nafakah  dengan laki-laki yang menyebabkan kelahirannya;

2. Anak hasil zina hanyaa mempunyai hubungan nasab, waris dan nafakah dengan ibunya dan keluarga ibunya;

3. Pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman ta’zir lelaki pezina yang mengakibatkan lahirnya anak dengan mewajibkannya untuk : (a) mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut; (b) memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah.

4. Hukuman sebagaimana dimaksud di atas bertujuan melindungi anak, bukan untuk mensahkan hubungan nasab antara anak tersebut dengan laki-laki yang mengakibatkan  kelahirannya.

Menurut penulis, lahirnya putusan MK tersebut, pengertian “hubungan perdata” harus dimaknai secara sempit (tidak mengikuti pengertian pasal 280 KUH perdata), sehinga hubungan perdata tidak equal dengan hubungan nasab.  Hubungan keperdataan hubungan yang mewajibkan orang tua biologis untuk memberikan pengayoman, biaya pendidikan dan biaya hidup lannya layanya sebagai bapak biologis. Sedangkan hak yang lahir karena hubungan nasab, seperti hak perwalian dan hak waris serta nafkah, harus dikecualikan,karena antara anak luar kawin dan bapak biologisnya memang tidak memiliki hubungan nasab.

 

c. Uji Materi Pasal 29 (1) UU Nomor 1 / 1974

Pasal 29 (1) menjelaskan bahwa perjanjian perkawinan (pemisahan harta) hanya dapat  dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan.  Berdasarkan putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015 ketentuan pasal 29 (1)  menjadi sebagai berikut :

Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan jo. Putusan MK 69/2015:

“Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.”

  Sebelum lahir putusan MK Nomor 69/2015 tersebut pelaku perkawinan campuran seringkali menghadapi persoalan yang menyangkut harta bersama terutama kepemilihan lahan maupun, fasilitas pinjaman dari bank. Mereka yang kawin campur merasa kesulitan pada saat memebeli tanah, jika tidak ada perjanjian perkawinan. Akibatnya sering terjadi penyelundupan hukum dengan mengganti status dalam identitas kependudukan, dan lain-lain. Pasangan kawin campuran yang tidak memiliki perjanjian kawin mendapat penolakan sebagai jaminan di bank, harta bawaan yang dianggap harta bersama, tidak bisa membeli properti, hingga resiko anak dalam mewaris. Sehingga tak heran kalau dulu, misalnya jika mendapat warisan tidaka dapat dijadikan jaminan di bank karena harta warisan diangga sebagai harta bersama, jika tidak ada perjanjian perkawinan.

d. Lembaga Waris Pengganti dalam Pasal 185 KHI

Pasal 185 menyatakan bahwa (1)  ahli wais yang meninggal lebih dahulu dari si perawis , maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173.  (2) Bagian bagi ahli waris pengganti  tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat  dengan yang diganti.  Munculnya pasal 185 KHI, sesungguhnya berkaitan erat dengan perasaan nilai  keadilan yang merupakan ruh dari hukum itu sendiri. Meskipun penjabaran nilai keadilan dalam Islam, harus tetap berada dalam kontek wahyu, karena sumber keadilan Islam adalah Allah yang Maha Adil (al-adlu). Persoalan nasib cucu yang orang tuanya meninggal terlebih dahulu sebelum pewaris meninggal, bukan saja mengusik rasa keadilan ahli hukum Islam di Indonesia, namun menjadi kegelisahan umum. Ini terbukti bahwa Mesir dan Pakistan juga memberikan perhatian serius. Mesir memberikan perlindungan cucu tersebut, dengan wasiat wajibah, sedangkan Pakistan mengambil jalan waris pengganti.

Indonesia, ternyata memilih jalan seperti halnya Pakistan, dengan memberikan hak kewarisan melalui waris pengganti. Dipilihnya jalan waris pengganti dari pada wasiat wajibah oleh para penyusun KHI, barangkali saja sebagai langkah kompromi antara hukum Islam-hukum adat-hukum perdata (Plaatsvervulling).  Namun, pada sisi lain ada yang melihat bahwa langkah kompromi itu, merupakan bukti berlakunya teori receptie di Indonesia. Pemaksaan penafsiran kata mawali dalam al-Qur’an  kepada praktek waris  pengganti, dinilai merupakan “rekayasa” terselubung penundukan hukum Islam oleh  hukum adat. Benar tidaknya sinyalemen ini, masih perlu didiskusikan lebih lanjut.

Lain halnya dengan wasiat wajibah yang dianggap memiliki landasan syar’i dari pada waris pengganti, seperti disebutkan dalam QS.al-Baqarah 180 (كتب عليكم إذا حضر أحدكم الموت إن ترك خيرا الوصية للوالدين والأقربين بالمعروف حقا على المتقين ).  Menurut Ibn Katsir, secara umum, ayat tersebut  mengharuskan orang berwasiat kepada seluruh kerabat menjelang kematian.  Setelah turun ayat waris yang menjelaskan bagian ashabul furud dan asabah, dengan sendirinya kewajiban wasiat untuk ahli waris ashabul furud dan asahabat terhapus, dan tinggallah kewajiban wasiat untuk mereka yang tidak disebutkan secara jelas bagiannya dalam al-Qur’an.    

Meskipun demikian, pemberian bagian baik kepada cucu maupun anak angkat melalui wasiat wajibah bukan tanpa masalah.  Secara filosofi, yang paling berhak atas harta peninggalan adalah mereka yang memiliki hubungan paling dekat dengan pewaris, sedangkan anak angkat tidak memiliki hubungan apa pun dengan pewaris. Tidak selayaknya, mereka yang hubungannya lebih dekat, tergeser oleh anak angkat yang tidak memiliki hubungan.  .

 

Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris  maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya

Penutup

Demikian beberapa materi hukum keluarga di Indonesia dan perkembangan yang yang terjadi selama sejak mulai diberlakukan sampai saat ini. Semoga apa yang telag disampaikan ada manfaat bagi khazanah pemikiran kita. Amin.

 

 

0 Comments

Featured Widgets

LEGALITAS FATWA DSN-MUI SEBAGAI DASAR PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH

LEGALITAS FATWA DSN-MUI SEBAGAI  DASAR  PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH   H. IMRON ROSYADI   Pendahuluan Operasioanal produk perbankan syariah tidak dapat dipisahkan dengan  fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), karena dibentuknya lembaga tersebut salah satu tugas dan wewenangnya adalah  mengeluarkan fatwa yang berhubungan dengan jenis-jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan syariah, termasuk juga bank-bank syariah.   Sampai saat ini DSN telah banyak melahirkan produk fatwa dalam rangka mengawal prinsip syariah.  Dari sudut  ekselerasi produk yang dihasilkan, DSN MUI terhitung sangat produktif karena sejak didirikan sampai saat ini telah mengeluarkan fatwa lebih dari seratus fatwa.   Di sisi lain, sebagian ahli hukum ada yang mempertanyakan kedudukan fatwa sebagai sebagai sumber hukum dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah. Pertanyaan tersebut dapat dimengerti  karena fatwa tidak ...