LEGALITAS FATWA DSN-MUI SEBAGAI DASAR PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH

LEGALITAS FATWA DSN-MUI SEBAGAI  DASAR  PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH

 

H. IMRON ROSYADI

 

Pendahuluan

Operasioanal produk perbankan syariah tidak dapat dipisahkan dengan  fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), karena dibentuknya lembaga tersebut salah satu tugas dan wewenangnya adalah  mengeluarkan fatwa yang berhubungan dengan jenis-jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan syariah, termasuk juga bank-bank syariah.  Sampai saat ini DSN telah banyak melahirkan produk fatwa dalam rangka mengawal prinsip syariah.  Dari sudut  ekselerasi produk yang dihasilkan, DSN MUI terhitung sangat produktif karena sejak didirikan sampai saat ini telah mengeluarkan fatwa lebih dari seratus fatwa. 

Di sisi lain, sebagian ahli hukum ada yang mempertanyakan kedudukan fatwa sebagai sebagai sumber hukum dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah. Pertanyaan tersebut dapat dimengerti  karena fatwa tidak memiliki kekuatan mengikat dan tidaka menjadi bagian yang diatur dalam   UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang dirubah dengan UU Nomor 15 tahun 29019.   Dalam UU tersebut digariskan  bahwa  jenis dan hierarki  peraturan perundang undangan terdiri dari  (a) UUD NRI 1945; (b) Ketetapam MPR; (c)  Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; (d) Peraturaan Pemerintah; (e) Peraturan Presiden; (f) Peraturan Daerah Provinsi; dan (g) Peraturan Daerah Kota/Kabupaten.  Kekuatan hukum  masing-masing peraturan perundang-undangan tersebut sesuai denga hierarkinya, artinya penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Selain peraturan perundang-undangan tersebut, ada beberapa peraturan yang  diakui keberadaanya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, yaitu  peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Yudisial (KY), Bank Indonesia (BI), Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.  Peraturan Perundang-undangan tersebut diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Berdasarkan  hal yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa  fatwa  bukan bagian dari peraturan perundang-undangan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Di sisi lain, dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, terutama  sengketa yang melibatkan perbankan syariah,   selalu bersentuhan dengan  fatwa DSN-MUI.  Hal tersebut dapat dimaklumi  karena dari fatwa tersebut nilai-nilai prinsip syariah produk  perbankan syariah bersumber.  Pihak-pihak yang bersengketa, dalam  gugatan ataupun jawabannya, seringkali menjadikan fatwa DSN-MUI sebagai dasar bahwa pihak lawan telah melanggar dalam perkara a quo.  Tulisan ini bermaksud mengupas kedudukan fatwa DSN-MUI  sebagai fokus kajian dalam kaitan sebagai  sumber hukum  dalam menyelesaikan  sengketa ekonomi syariah.

 

Kedudukan Fatwa Dalam Ilmu Hukum Islam

Sebelum mengupas  lebih lanjut, akan dijelaskan terlebih dahulu pengertian fatwa.  Kata “fatwa” bermakna petuah, nasihat, jawaban atas pertanyaan yang berkaitan dengan hukum.  Sedangkan ifta’ berasal dari akar kata yang sama dalam bentuk kata kerja  yang berarti memberikan penjelasan hukum atau keputusan.  Al-Syatibi mendefinisikan fatwa sebagai keterangan tentang hukum syara’ yang tidak mengikat untuk diikuti. Sedangkan menurut Yusuf Qardawi, fatwa adalah keterangan mengenai hukum syara’ dalam suatu persoalan sebagai jawaban atas suatu pertanyaan yang diminta oleh orang yang membutuhkan (mustafi) baik secara perseorangan ataupun kolektif. Dari definisi yang telah dipaparkan para ahli hukum Islam tersebut, fatwa secara sederhana dapat dipahami sebagai suatu jawaban atas suatu kejadian berdasarkan permintaan seseorang atau kelompok.

Pada awal perkembangannya, fatwa diberikan oleh ulama yang tidak diragukan kemampuannya tentang satu atau beberapa masalah yang dimintakan.  Generasi ulama pasca imam mazhab (Hanafi, Malik, Syafii dan Ibn Hanbal)  adalah generasi yang  mulai memperkenalkan tradisi hukum fatwa.  Dalam tradisi pemikiran hukum Islam, fatwa merupakan salah satu produk pemikiran  hukum yang lahir dari para ahli hukum selain fikih.   Beberapa kitab yang menghimpun fatwa ulama besar di antaranya adalah  kitab Zahir al-Riwayah yang merupakan kitab kumpulan fatwa imam Abu Hanifah yang disusun oleh muridnya yang bernama Muhammad bin Hasan al-Syaibani, kitab al-Mudawwanah al-Kubro, merupakan kumpulan fatwa imam Malik yang disusun oleh  Abd Salam bin Said al-Tanukhi, kitab Majmu’ al-Fatawa, yang merupakan kumpulan fatwa Ibn Taimiyah yang disusun oleh Muhammad bin Abd al-Rahman al-Qasim, kitab al-Fatawa karangan Mahmud Syaltut, kitab Yas alunaka fi al-Din wa al-Hayah, karangan Ahmad Syarbashi, kitab al-Fatawa karangan Mutawall al-Sya’rowi, kitab al-Fatawa, karangan Yusuf al-Qardawi, dan lain-lain. Ketiga terahir yang disebutkan adalah para  Guru Besar dari Universitas al-Azhar, Mesir.

Kegiatan memberi dapat dilakukan secara individu dan kolektif, keduanya sejatinya  merupakan proses penggalian hukum melalui metode ijtihad, sehingga sebuah  fatwa yang dihasilkan oleh suatu lembaga pada hakikatnya  harus dipandang sebagai hasil ijtihad kolektif (jama’i). Apabila pemberi fatwa  berbentuk lembaga Pada dasarnya fatwa  dihasilkan melalui diskusi  yang terdiri dari para  ahli di bidanganya masing-masing. Fatwa sebagai jawaban hukum  atas kebutuhan umat,  terbebas dari berbagai kepentingan, sehingga hasilnya  benar-benar menjadi dambaan umat.  Oleh karena fatwa merupakan jawaban atas kebutuhan hukum, maka kelahiran fatwa didahului oleh pertanyaan atau kegelisahan masyarakat maupun perorangan atas status hukum peristiwa tertentu.  Dengan demikian dari sudut pandang  substansinya antara fatwa dan fikih sama-sama sebagai hasil ijtihad ulama sebagai ahli hukum Islam, hanya saja kelahiran fikih tidak didahului oleh pertanyan masyarakat atau perorangan, sedangkan fatwa dimulai dengan permintaan.

Baik fatwa maupun fikih sama-sama  merupakan ilmu yang memiliki bidang garap sebagai ilmu terapan (al-ahkam al-amaly).  Mujtahid melakukan istinbath hukum  dalam berbagai kasus baik diminta atau tidak, yang kemudian dibukukan dalam kitab fikih.  Mufti melakukan istinbath hukum  terhadap persoalan yang dimintakan fatwa kepadanya.  Karena merupakan bidang garapnya adalah ahkam amali maka fatwa maupun  fikih memiliki kaitan erat dengan konteks kehidupan yang nyata dan terjadi dalam kehidupan sehari-hari.  Berdasarkan hal tersebut para ahli hukum Islam  memberikan ruang lingkup  fikih  (termasuk fatwa)  sebagai ilmu yang berkaitan dengan hukum syara’ tentang kehidupan sehari-hari yang diambil dari sumbernya secara detail (al-Ilm bi al ahkam al-syarr’iyyah al-amaliyah al- muktasab min  al-adillatiha  al-tafsiliyah).  

Ali Yafi, mengemukakan ada tiga hal yang menjadi essensi fikih.  Pertama, fikih itu adalah ilmu garapan manusia (al- ilm al-muktasab), karena merupakan ilmu muktasab, maka peran penalaran (ra’yi)  mendapat tempat dan diakui dalam batas-batas tertentu. Kedua, fikih obyek garapannya adalah al-Ahkam al-Amaliyah. Dengan kata lain ia terkait dengan pengaturan dan penataan perbuatan atau kegiatan manusia yang bersifat positif dan riil, tidak bersifat teoritis seperti halnya garapan ilmu kalam (aqidah).  Ketiga, sumber pokok fikih adalah wahyu  (syara’) dalam bentuknya yang rinci  (tafsli) baik dari al-Qur’an maupun  al-Sunnah.

Sebagai suatu ilmu dihasilkan melalui proses ijtihadi, fikih dan fatwa kebenaranannya memiliki  bersifat  dhanny (probability) dan  sangat kaya akan perbedaan pendapat.  Berdasarkan kenyataan yang demikian, Rifyal Ka’bah mengatakan bahan tradisi pemikiran hukum Islam  terbiasa dengan pluralime yang secara tidak langsung melahirkan ajaran toleransi.   Pluralime justru menghadirkan kemudahan bagai masyarakat  dalam menyelesaikan hal-hal yang  berkaitan dengan kehidupannya, dengan mengikuti mana yang paling sesuai. Sedangkan bagi pemerintah dapat memberikan pilihan penyelesaian hukum yang paling sesuai dan maslahat,  sebagaimana kaidah yang  berbunyi bahwa kebijakan pemimpin (imam) harus didasarkan pada kemaslahatan  (تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة  ).  

Fatwa dan fikih tidak dapat dijadikan solusi dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi di masyarakat.  Pelaksanaan  hukum yang dihasilkan fatwa maupun fikih  hanya sebatas kesadaran induvidual. Keduanya juga tidak bisa dijadikan  dasar dalam menyelesaikan perbedaan yang ada karena tidak memiliki kekuatan mengikat  berdasarkan prinsip  hasil ijtihad  tidak dapat membatalkan  ijitihad lain ( الاجتهاد لا ينقض بالاجتهاد ).  Oleh karena itu diperlukan campur tangan negara untuk memberikan kekuatan  melalui proses taqnin yakni proses legislasi menjadi qanun (paraturan perundang-undangan).   Dalam sejarah, pen-taqnin-an  ke dalam sebuah qanun  dengan format dan susunan modern terjadi pertama kali  terjadi pada saat pemerintahan Turki Usmani  yang kemudian  diberi nama Majalla al- Ahkam al-adliyah.   Tidak berlebihan apabila diikatakan bahwa, Majalla al- Ahkam al-adliyah  merupakan qanun yang disusun  pertamakali mengikuti  bentuk dan susunan  mirip dengan  susunan pada hukum Romawi (Romawi Law System).  

Legalaitas Fatwa DSN-MUI Bidang Perbankan Syariah  

Berlakunya Undang-Undang  Nomor  10 tahun 1998  tentang   Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992  tentang Perbankan,  menjadi  pintu masuk  beroperasinya perbankan syariah di Indonesia,  melalui pengaturan perbankan berdasarkan prinsip bagi hasil.  Meskipun undang-undang tersebut tidak menyebut  kata “syariah” namun maksudnya telah jelas bahwa yang dimaksud adalah praktik perbankan yang menggunakan prinsip syariah.  Penggunaan kata “syariah”  baru disebutkan secara jelas dalam Undang-Undang  Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.  Dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan secara jelas bahwa prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa dibidang syariah. 

Persoalan yang  kemudian muncul adalah siapa yang dimaksud dengan lembaga yang memiliki kewenangan dalam menetapkan fatwa di bidang syariah tersebut.  Institusi regulator yang mempunyai otoritas mengatur dan mengawasi lembaga keuangan syariah, yang waktu itu berada di tangan  Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan,  keduanya sudah barang tentu tidak dapat melaksanakan otoritasnya dibidang syariah. Kedua lembaga pemerintahan tersebut tidak memiliki otoritas untuk merumuskan prinsip-prinsip syariah secara langsung dari teks-teks keagamaan dalam bentuk regulasi.  Oleh karena itu  pasal 26 diaturlah lembaga yang memiliki otoritas untuk memberikan fatwa berkaitan dengan prinsip syariah adalah MUI.  Secara tegas Pasal 26 ayat  (2) berbunyi   “Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia”.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang berdiri pada tanggal 7 Rajab 1395 Hijriyah, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 masehi,  merupakan organisasi yang mewadahi ulama, zu’ama dan cendekiawan Islam. Salah satu fungsi dibentuknya MUI adalah memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada pemerintah dan masyarakat.  Khittah pengabdian MUI telah dirumuskan lima fungsi dan peran MUI, diantranya adalah sebagai pemberi fatwa (mufti).

Sejalan dengan menggeliatnya sektor ekonomi dan komitmen untuk memandu umat agar ber-muamalah secara halal, maka MUI menganggap perlu untuk mendirikan Dewan Syariah Nasional (DSN) yang bertugas mengeluarkan fatwa yang berhubungan dengan jenis-jenis kegiatan,  produk dan jasa keuangan syariah, termasuk juga bank-bank syariah.  Berdasarkan SK Nomor Kep/MUI/II/1999 tanggal 10 Pebruari 1999 secara resmi DSN-MUI  terbentuk, dengan tugas dan fungsi sebagai berikut;  (a) mengeluarkan fatwa tentang ekonomi syariah untuk dijadikan pedoman bagi praktisi dan regulator; (b) menerbitkan rekomendasi, sertifikasi dan syariah approval bagi lembaga  keuangan dan bisnis syariah; (c) melakukan pengawasan aspek syariah  atas produk/ jasa di lembaga keuangan/bisnis syariah  melalui DSN.   

Atas dasar tugas dan fungsi tersebut, DSN berkaitan dengan produk/ jasa lembaga keuangan/ bisnis syariah, berwenang :

1.  Mengeluarkan fatwa yang mengikat Dewan Pengawas Syariah di masing-masing lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar tindakan hukum pihak terkait;

2. Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan/peraturan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti Departemen Keuangan dan Bank Indonesia;

3. Memberikan rekomendasi dan/atau mencabut rekomendasi nama-nama yang akan duduk sebagai Dewan Pengawas Syariah (DPS) pada suatu lembaga keuangan dan bisnis syariah;

4. Mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang diperlukan dalam pembahasan ekonomi syariah, termasuk otoritas moneter/lembaga keuangan dalam maupun luar negeri;

5. Memberikan peringatan kepada lembaga keuangan syariah untuk menghentikan penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional;

6. Mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk mengambil tindakan apabila peringatan tidak diindahkan.

Berdasarkan hal tersebut, dalam melihat dan memaknai fatwa DSN harus dipahami sebagai amanat yang ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan yakni   UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.  Dari sudut pandang ini, selayaknya fatwa DSN-MUI dipandang  memiliki legalitas yang diakui dan diperlakukan sebagai ketentuan hukum yang setara dengan subtansi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 itu sendiri.  Jika tidak dipahami demikian,  maka tidak ada bedanya antara perbankan konvensional dengan perbankan syariah. Hal yang membedakan antara dua sistem tersebut adalah prinsip syariah, sedangkan penerapan prinsip syariah, lembaga yang ditunjuk  memberi garansi adalah  MUI. Kalau lembaga yang tunjuk memberi garansi ke-syariah-an itu, produknya tidak diakui secara hukum, maka hakikatnya sama dengan meniadakannya.

Alasan lain yang membuat fatwa DSN-MUI  harus dipahami berbeda dengan fatwa  pada umumnya adalah,  bahwa fatwa DSN-MUI  selalu diambil  alih subtansinya oleh otoritas terkait dengan perbankan. Baik Bank Indonesia (BI) maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menempatkan fatwa DSN sebagai suatu yang urgen untuk menjamin sistem yang diterapkan benar-benar sesuai syariah, dengan menindak lanjuti fatwa dalam bentuk peraturan.  Gubernur Bank Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Bank Indoensia Nomor 10/32/PBI/2008 Tentang Komite Perbankan Syariah, antara lain dijelaskan tentang tugas Komite adalah membantu  Bank Indonesia dalam;  (a)  menafsirkan fatwa MUI yang terkait dengan perbankan syariah; (b) memberikan masukan dalam rangka implementasi fatwa ke dalam Peraturan Bank Indonesia; (c). melakukan pengembangan industri perbankan syariah.  

Sebagai contoh fatwa DSN MUI Nomor 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Istishna, memberikan beberapa ketetuan jual beli istishna yang harus dipatuhi agar jual beli yang dilakukan sesuai dengan prinsip syaraiah.  Substansi dari fatwa DSN tersebut kemudian dijabarkan dalam regulasi yang dibuat oleh Bank Indonesia, sebagaimana  termuat dalam pasal 13  Peraturan Bank Indonesia  Nomor 7/46/PBI/2005.  Demikian juga Fatwa No. 40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal, substansinya dituangkan kembali dalam bentuk regulasi oleh lembaga terkait, terahir dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 15/POJK.04/2015 tentang Penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal.

Berdasarkan uraian tersebut, maka jelaslah bahwa  fatwa DSN-MUI  memiliki kedudukan yang kuat, di samping keberadaannya ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan terkait, yaitu UU Nomor 21 tahun 2008, substansi fatwa yang dikeluarkan menjadi substansi regulasi yang dikeluarkan oleh otoritas yang bersangkutan.  Meskipun fatwa yang dikeluarkan bukan termasuk bagian dari hierarki peraturan perudang-undangan sebagaimana dimaksud oleh UU Nomor 12 tahun 2011, namun oleh karena substansinya dilegitimasi melalui peraturan perundang-undangan,  secara substansi memiliki kekuatan mengikat.  Dalam  penyelesaian sengketa di pengadilan fatwa DSN-MUI substansinya  menjadi atau dianggap sama dengan hukum abstrak (in abstracto)  dapat dijadikan sumber hukum  guna mengurai  sengketa   yang terjadi untuk menemukan hukum  konkrit (in concreto).  Meskipun demikian pencatuman dasar fatwa DSN-MUI dalam penyelesaian kasus ekonomi syariah di pengadilan agama, hendaknya dihubungkan dengan regulasi lain yang substansinya diambil dari fatwa DSN-MUI.

 

 

Kesimpulan

Fatwa yang dikeluarkan oleh DSN MUI di bidang perbankan syariah  meskipun produknya diformulasikan sebagai  fatwa,  namun  berbeda dengan kebanyakan fatwa pada umumnya yang tidak mempunyai kekuatan mengikat.  Hal yang membedakan fatwa DSN MUI dengan fatwa lain pada umumnya, karena eksistensinya ditunjuk oleh  UU Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.   Di samping itu hal tersebut, substansi   fatwa DSN-MUI juga   mendapatkan legitimasi dari lembaga terkait  (Otoritas Jasa Keuangan).  Meskipun demikian pencatuman dasar fatwa DSN-MUI dalam penyelesaian kasus sekonomi syariah di pengadilan agama, hendaknya dihubungkan dengan regulasi lain yang substansinya diambil dari fatwa DSN-MUI. Wallahu a’lam bi al-showab.

 

Daftar Pustaka

Abdul Aziz Dahlan, et all, Ensiklopedi Hukum Islam , Jilid , Jakarta,  Van Hove, 1999

 

Ali Yafi, Ke Arah Kontektualisasi Fiqih, dalam majalahm MIMABR HUKUM No. 13, Jakarta, Ditbenbapera Islam DEPAG, 1994.

Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyah,wa wilayah al-Diniyah,  Kairo Mesir, Mustafa al-Babi al-Halabi, 1973.

 

Asni, Pembaharun Hukum Islam di Indonesia,  Jakarta,  Kementerian  Agama  Republik Indonesia, 2012.

 

Idris Abdul Fatah, Menggugat Istinbath Hukum Ibnu Qayyim,  Semarang,  Pustaka Zaman, 2007.

 

Jalan al-Din Abd al-Rahman al-Sayuthi, Al-Asybah wa al-Nadza'ir fi Qawaid al-Fiqh al-Syafi’i,  Damaskus, Dar al-Fikr, ttp.

M. Cholil Nafis, Teori Hukum Ekonomi Syariah, Jakarta, UI Press, 2011.

 

https://dsnmui.or.id/  diakses tanggal 20 Juni  2017.

 

Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, Jakarta,   Elsas, 2008.

 

Rifyal Ka’bah,  Penegakan Syariat Islam di Indonesia,  Jakarta, Rifyal Ka’bah Fundation, 2016.

 

Rohadi Abdul Fatah, Analisis Fatwa Keagamaan Dalam Fikih Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 2006

 

UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

 

UU Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

 

Tajul Arifin,  et all,   Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Islam,  ( Bandung; Kiblat Press, 2002).

 

M. Cholil Nafis, Teori Hukum Ekonomi Syariah,  Jakarta,  UI Press, 2011.

 

UU Nomor 1 Tahun 2008 Tentang  Pebankan Syariah.

 

UU Nomor 21 tahun 2011 tentang  Otoritas Jasa Keuangan (OJK)  

 

Peraturan Bank Indonesia Nomor10/32/PBI/2008 Tentang Komite Perbankan Syariah

0 Comments

Featured Widgets