DILEMA LEMBAGA DISPENSASI KAWIN
Oleh : H. IMRON ROSYADI
Kenaikan
batas usia minimal kawin yang diatur
dalam Pasal 7 (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 menjadi 19 (Sembilan belas)
tahun bagi calon pengantin pria dan wanita, diharapkan pada batas usia
tersebut telah matang jiwa raganya untuk
memasuki dunia rumah tangga untuk mewujudkan tujuan perkawinan dan dapat
melahirkan keturunan yang sehat dan berkualitas. Kenaikan usia minimal kawin juga dapat
menjadi sarana pengendalian laju kelahiran dan menurunkan risiko kematian ibu
dan anak. Diharapkan dari matangnya jiwa raga, pasangan suami-istri dapat
memenuhi hak-hak anak, sehingga mengoptimalkan tumbuh kembang anak
termasuk pendampingan orang tua serta memberikan akses anak terhadap pendidikan
setinggi mungkin.
Akan
tetapi Undang-Undang juga mengatur norma penyimpangan terhadap batas usia
minimal kawin, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 ayat (2) dengan mengajukan
permohonan dispensasi ke pengadilan. Adanya norma yang mengatur penyimpangan
tersebut, menjadikan norma batas minimal
usia kawin sebelumnya menjadi tidak
berlaku secara kaku. Artinya masih dimungkinkan masyarakat yang menginginkan perkawinan dibawah usia minimal kawin, dengan mengajukan
permohonan dispensasi ke pengadilan.
Pasca
kenaikan batas minimal usia perkawinan menjadi 19 (sembilan belas) tahun bagi
calon pengantin laki-laki dan perempuan, perkara permohonan dispensasi yang diterima oleh
pengadilan agama terjadi peningkatan
yang signifikan. Penetapan batas usia minimal perkawinan yang dijelaskan
oleh Pasal 7 ayat (1), oleh ayat
(2) dibuat norma yang mengatur
penyimpangan dengan jalan melakukan permohonan dispensasi kawin ke pengadilan.
Secara nasional perkara dispensasi yang diperiksa lingkungan peradilan agama
pada tahun 2018 (sebelum terjadi peningkatan usia minimal kawin) sebanyak
13.815 (tiga belas ribu delapan ratus lima belas) perkara. Pada tahun 2019 (dua bulan setelah diundangkan
UU Nomor 16 Tahun 2019 atau dua bulan setelah kenaikan usia), menjadi 23.126 (dua puluh tiga ribu seratus
dua puluh enam) perkara. Pada Januari sampai Juni tahun 2019 (setengah tahun) perkara dispensasi kawin yang diterima
Pengadilan Agama sudah mencapai 35.441 (tiga puluh lima ribu empat ratus empat
puluh satu) perkara. Selama tahun 2020
perkara dispensasi kawin yang diterima Lingkungan Peradilan Agama
sebanyak 64.196. (enam puluh empat ribu seratus sembilan puluh enam) perkara.
Berikut disajikan table perkara dispensasi kawin dari tahun ketahun : ;
Kecenderungan
kenaikan perkara dispensasi secara signifikan terjadi di hampir setiap daerah
pasca diundangkannya UU Nomor 16 Tahun 2019, hanya saja tinggi rendahnya berbeda-beda pada setiap daerah. Sebagai
contoh, di Pengadilan Agama Watansoppeng Kelas 1B, Sulawesi Selatan, pada tahun 2018 menerima perkara
dispensasi kawin sebanyak 93 perkara, tahun 2019 sebanyak 113 perkara, dan pada
tahun 2020 naikmenjadi 320 perkara.
Pengadilan Agama di wilayah Yogyakarta juga menunjukkan kenaikan yang
signifikan antara sebelum kenaikan usia dan setelah berlakunya kenaikan
usia. Pengadilan Agama Wonosari pada
tahun 2018 (sebelum kenaikan usia minimum kawin) menerima sebanyak 79 (tujuh puluh sembilan)
perkara, pada tahun 2020 (setelah kenaikan usia minimal kawin) sebanyak 241 perkara. Pengadilan Agama Sleman
pada tahun 2018 menerima sebanyak 96
(sembilan puluh enam) perkara, pada tahun 2020 sebanyak 279 (dua ratus tujuh
puluh sembilan) perkara.
Belum ada data yang
pasti apakah tingginya angka permohonan dispensasi tersebut murni diakibatkan oleh kenaikan usia
minimal kawin atau ada faktor lain yang menentukan. Berdasarkan tabel perkara dispensasi sejak
sepuluh tahun terakhir ini, meskipun belum berlaku kenaikan usia, namun sudah
ada kecenderungan naik, akan tetapi kenaikan yang cukup signifikan memang
terjadi pasca kenaikan usia minimal kawin.
Apabila naiknya usia minimal kawin dipahami hukum sebagai alat rekayasa
sosial, implementasinya masih menghadapi beberapa persoalan. Roscoe Pound, menawarkan teori hukum sebagai alat rekayasa
sosial, bahwa hukum merupakan alat untuk
mengubah masyarakat (law as a tool of social engineering). Hukum
berada di garda depan, bekerja
untuk mendorong perubahan yang seharusnya dilakukan masyarakat. Jika teori tersebut dihubungkan dengan kehendak
negara yang diwujudkan melalui UU
Perkawinan khususnya dalam usia minimal
perkawinan, maka rekayasa hukum
tersebut belum menampakkan
keberhasilan yang signifikan.
Australia
Indonesia Partnership for Justice
(AIPJ) bersama dengan mitra dari
beberapa perguruan tinggi dan lembaga terkait di Indonesia, pernah
melakukan analisis putusan (penetapan) dispensasi kawin menggunakan aplikasi mesin menganalisa sebagai 873 putusan pengadilan agama tentang
dispensasi nikah. Ada beberapa alasan menikah di bawah umur yang ditetapkan
undang-undang. Perempuan telah hamil sehingga harus dilaksanakan perkawinan segera. Alasan pihak perempuan telah hamil menempati urutan teratas permohonan dispensasi kawin yaitu 31 % (tiga puluh satu persen). Disusul kemudian alasan keinginan
anak karena sudah saling mencintai dan tidak bisa lagi dicegah, sebanyak 25 % (dua puluh lima persen). Kekhawatiran orang tua anak berbuat hal-hal yang melanggar norma agama, sebanyak 21% (dua puluh satu persen), anak sudah melakukan hubungan seksual,
sebanyak 16% (enam belas persen), anak
berisiko melanggar nilai sosial, sebanyak 8 % (delapan persen), selebihnya karena alasanya lainnya.
0 Comments